Oleh Harri Safiari
ALGIVON.ID – Fenomena judi online atau judol di Negeri Konoha Raya (NKR) bukan lagi sekadar kabar burung. Sejak dua dekade terakhir, penyakit sosial ini telah menular ke segala lapisan masyarakat.
Uang yang berputar mencapai ratusan triliun rupiah, melibatkan ratusan ribu orang dari berbagai usia—termasuk anak-anak.
Dampaknya menjalar ke segala penjuru: ekonomi keluarga terpuruk, jeratan pinjol kian menggila, gangguan psikologis meningkat, dan perceraian melonjak tajam.
Andai Friedrich Nietzsche hidup kembali dan menyaksikan semua ini, barangkali ia akan mengerutkan dahi, menggumam lirih dengan nada getir:
“Ini dekadensi spiritual manusia modern!
Ini bukti bahwa Will to Power—kehendak untuk berkuasa atas diri—telah ambruk!”
Pernyataan itu bisa saja keluar dari mulut Korupsinikus, tokoh alegoris yang saya ciptakan—seorang makhluk kutukan yang insaf setelah ribuan tahun membatu di Museum Geologi, bersanding dengan fosil Pithecanthropus erectus temuan Eugene Dubois. Dari keheningan batu, ia belajar membaca kebodohan umat manusia yang terus berulang, hanya berganti kostum dan medium.
Nietzsche mengajarkan bahwa hakikat hidup manusia adalah mengatasi diri sendiri. Hidup adalah perjuangan untuk mencipta nilai, menaklukkan kelemahan, dan menjadi manusia unggul (Übermensch). Namun, di era digital ini, Will to Power justru terdistorsi. Ia menjelma menjadi Will to Luck—kehendak untuk menang tanpa kerja keras, untuk kaya tanpa proses.
“Manusia modern,” kata Korupsinikus, “tidak lagi menguasai diri, tapi tunduk pada algoritma yang ia ciptakan sendiri.”
Dalam keterasingan moral itu, Rhoma Irama seperti ikut bersuara dari masa lalu:
“Judi bukan hiburan, tapi penipuan batin.”
Lirik dari lagu “Judi” (1973) kini terasa profetik. Ketika manusia mengganti doa dengan deposit dan iman dengan saldo digital, maka sesungguhnya ia sedang menukar makna hidup dengan sensasi kosong. Judol bukan sekadar permainan; ia adalah ritual baru dari nihilisme massal.
Nietzsche menyebut nihilisme sebagai masa ketika manusia kehilangan makna sejati setelah “kematian Tuhan.” Nilai-nilai lama ditinggalkan, namun nilai baru belum diciptakan. Dalam kekosongan itulah manusia mencari pengganti: kesenangan instan, keberuntungan digital, dan kemenangan semu. Hasilnya: manusia semakin jauh dari cita-cita Übermensch, terjebak menjadi makhluk yang menggantungkan nasib pada peluang acak.
Gawai dan saldo menjadi berhala baru;
doa berganti deposit;
iman berganti angka.
Mungkin Nietzsche akan menyerukan agar bangsa ini menyalakan kembali Will to Power yang sejati: mengarahkan energi hidup untuk berpikir, berkarya, dan mencipta nilai luhur bersama. Kita bisa menemukan resonansi gagasan itu dalam falsafah lokal: silih asah, silih asih, silih asuh—nilai kebersamaan yang menumbuhkan kekuatan sejati, bukan keberuntungan palsu.
Korupsinikus, dengan gaya sarkastik khasnya, menutup renungan ini dengan meminjam suara Bang Haji Rhoma:
“Dulu kalah hanya kehilangan uang,
Sekarang kalah kehilangan sinyal, moral, dan rasa malu.
Kalau menang? Sebentar saja—lalu kalah lagi,
lalu top up lagi.”
Barangkali Nietzsche dan Rhoma Irama tidak pernah bertemu, tapi keduanya seolah menyampaikan pesan yang sama: manusia kehilangan martabat ketika berhenti menaklukkan dirinya sendiri.
Maka, melawan judol bukan semata urusan moral atau hukum. Ini soal eksistensi—tentang bagaimana manusia modern memilih untuk tetap menjadi tuan atas dirinya sendiri, bukan hamba dari algoritma dan ilusi keberuntungan.
(Selesai)
BACA JUGA:Dibalik Penemuan Spesies Baru “Korupsinikus” : Dari Museum ke Nurani Kita

