Sen. Nov 3rd, 2025

Rubiansyah dan Korupsinikus

Cerpen satire: Harri Safiari  

ALGIVON.IDMalam itu, selepas kunjungan sekolah ke Museum Geologi Bandung, Rubiansyah merebahkan diri di tempat tidur dengan tubuh letih. Bayangan fosil dan batuan purba masih menari di benaknya ketika matanya perlahan tertutup. Ia tidak tahu, malam itu bukan sekadar tidur—melainkan awal dari petualangan batin yang aneh, jauh di antara dunia manusia dan dunia arwah para berdosa.

Dalam mimpinya, Rubiansyah berjumpa dengan sosok yang menamakan dirinya Korupsinikus—makhluk menyerupai manusia, namun kulitnya berwarna kelabu batu. Ia menyebut dirinya sebagai “spesies gagal”, bukan manusia purba, tapi juga bukan roh murni. Dulu, katanya, ia manusia biasa, seorang pegawai pemerintahan dua ribu tahun lalu. Tapi setelah menerima uang haram yang ke-2005, tubuhnya dikutuk menjadi batu oleh “Penjaga Keadilan Alam.”

Namun, anehnya, Korupsinikus justru hangat dan bersahabat. Wajahnya tampak seperti teman sekelas Rubiansyah—ceria, ramah, dan cerdas. Kadang ia bercanda, kadang menasihati, seolah kakak yang tak pernah dimiliki Rubiansyah.

“Kutukan ini bukan akhir, Rubi,” katanya lembut. “Kadang manusia perlu membatu dulu agar sadar betapa kerasnya hati yang tertutup dosa.”

Rubiansyah hanya bisa terdiam. Dalam kehidupan nyatanya, keluarganya pun terasa “membatu.”
Ayahnya bekerja di bidang otomotif, tapi lebih sering rugi daripada untung. Ibunya—seorang aktivis sosial yang lantang menentang ketidakadilan—tak pernah menang dalam perjuangan melawan pemerintah.

“Pemerintah memang seperti tak bisa dikalahkan,” keluh ibunya, suatu sore setelah pulang dari unjuk rasa yang gagal.

Kalimat itu tertanam dalam kepala Rubiansyah. Ia merasa hidupnya dikelilingi tembok besar ketidakberdayaan – serba sia, dinding nahas ada di mana-mana!

Namun Korupsinikus seperti tahu segalanya.

“Jangan putus asa, Rubi. Kadang yang kalah hari ini sedang disiapkan untuk kemenangan yang lebih besar,” ucapnya bijak.

Kata-kata itu seperti embun di padang tandus hatinya. Tapi tetap saja, Rubiansyah tak puas. Ia merasa terus dikejar pertanyaan: mengapa ayahnya selalu rugi, mengapa ibunya selalu gagal, mengapa hidup keluarganya seolah dikutuk?

Korupsinikus tersenyum samar.

“Karena dunia manusia sedang diuji. Dan ujian terbesar manusia adalah kejujuran.”

Rubiansyah teringat berita-berita tentang tanah rakyat yang direbut oleh penguasa dan pengusaha. Ia bahkan melihat sendiri, tanah garapan petani di pinggir kotanya kini berdiri bangunan bertuliskan “Kawasan Ekonomi Terpadu”.

“Mereka bilang tanah itu terlantar,” keluh Rubiansyah, “padahal sudah digarap petani sejak tahun 60-an!”

Korupsinikus memandang jauh, matanya berkilat redup.

“Aku pernah menjadi bagian dari mereka, Rubi. Dulu aku pun berpikir, sedikit uang haram takkan mengubah dunia. Tapi ternyata, setiap amplop punya roh. Dan roh itulah yang kini menghantui peradaban manusia.”

Sunyi sejenak. Dari kejauhan, kabut menebal. Angin membawa bisikan lembut seperti lagu pengampunan.

“Lalu, adakah jalan keluar?” tanya Rubiansyah dengan nada putus asa.

Korupsinikus menatapnya penuh iba.

“Sabar dan terus berjuang. Kadang penolong datang bukan dengan sayap, tapi dengan keberanianmu sendiri. Tapi siapa tahu… akan datang Mesias—penyelamat yang mampu membalik kutukan zaman.”

Rubiansyah tertegun.

“Kapan ia datang?”

“Aku tak tahu,” jawab Korupsinikus, menatap cakrawala yang mulai retak. “Tapi selama manusia masih berani menolak amplop ke-2005 mereka, mungkin saat itulah Mesias sudah di depan mata.”

Langit di alam mimpi itu bergemuruh. Korupsinikus perlahan memudar, tubuh batunya retak dan berubah menjadi debu bercahaya. Sebelum lenyap, ia berbisik:

“Berjuanglah, Rubi. Jangan biarkan kutukanku jadi masa depanmu.”

Rubiansyah terbangun dengan keringat dingin. Di meja belajarnya, tiket masuk Museum Geologi tergeletak bersama secarik batu kecil berwarna abu-abu keperakan—seperti sisa tubuh Korupsinikus. Ia menggenggamnya erat, menatap keluar jendela, dan berbisik:

“Aku akan berjuang, Korupsinikus. Dengan caraku sendiri.”

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Rubiansyah merasa hidupnya bukan sekadar mimpi, ia telah memasuki dimensi lain!

“Aku mewujud kini…” teriak Rubiansyah sambil berdiri dengan tangan mengepal dan suara menggelegar mengetarkan dinding rumahnya.(Selesai)

BACA JUGA: Dibalik Penemuan Spesies Baru “Korupsinikus” : Dari Museum ke Nurani Kita

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *