Esai Satire: Harri Safiari
🌫️ Kabut di Atas Menara Kebajikan
ALGIVON.ID — Pagi itu, kabut tipis menari di atas Menara Kebajikan Murni, menyelimuti wajah patung-patung tua Sang Penguasa Hutan yang dahulu menjadi lambang kejayaan Negeri Konoha Raya (NKR). Dari kejauhan terdengar kabar lirih: negeri yang dahulu dijuluki mutiara khatulistiwa kini meredup cahayanya — melangkah perlahan menuju lap gelap!
Konon, di balik senyum pejabatnya yang berperut buncit dan wajah berkilap minyak, bergaung rapat-rapat bernuansa patgulipat. Di sana digalakkan jurus kuno yang tak pernah diajarkan di akademi — simsalabim, seni adiluhung mengubah amanah menjadi harta pribadi, tanpa meninggalkan jejak sekecil apa pun. Jurus itu, katanya, mesti ditingkatkan! Daya endus para pengawas luar harus ditumpulkan sejak dini. “Jangan beri celah sedikit pun,” begitu semboyan mereka, “biarkan rakyat tetap terlelap dalam denyut kemakmuran palsu.”
🕳️ Jejak yang Menghilang di Gang-Gang Negeri
Maka berangkatlah aku — si pengelana yang kerap dicibir “tak jelas alang ujurnya”. Kususuri gang-gang sempit nan sumpek, juga aula megah yang sejuk oleh pendingin udara tapi gersang oleh nurani. Di setiap sudut negeri ini tercium aroma menakutkan: siapa penyebar kebijakan ajaib yang membuat rakyat percaya bahwa mereka makmur, padahal ijazah asli pun kerap dianggap palsu?
🌲 Ilusi Hijau dan Laporan yang Menyilaukan
Salah satu contoh “kemakmuran palsu” itu: deforestasi hutan alam.
Laporan resmi Lembaga Penjaga Hutan sebagai Kekayaan Negara (LPHsKN) menyebut deforestasi di NKR menurun tajam — setidaknya, di atas kertas.
Saat melipir di sekitar Menara Kebajikan Murni, aku sempat bertanya kepada pegawai pemerintah yang mengurus hutan:
“Bagaimana keberlangsungan hutan di sini? Apakah terpelihara dengan baik? Apakah luasnya bertambah, rakyat makmur, flora-fauna sejahtera, dan bencana menurun?”
Salah satu pegawai yang dipanggil Surotoy tergelak, “Waduh, itu pertanyaan pancingan ya?” katanya. “Kalau mau tahu lebih lengkap, tanya saja ke Bang Surahu. Dia paham betul soal deforestasi di sini.”
🌋 Bordeo: Tanah yang Terbuka dan Luka yang Dalam
Bang Surahu, yang telah dua dekade bergelut dengan dunia kehutanan di Pulau Bordeo, menghela napas panjang. “Pulau ini paling parah deforestasinya,” ujarnya. “Katanya proyek strategis nasional — ada Ibu Kota Baru di situ. Belum lagi pabrik-pabrik raksasa tanpa kejelasan bahan baku. Runyam, Bung, makin runyam…”
Catatan lapangan menunjukkan deforestasi terpantau lewat tiga metode:
- Deteksi awal dugaan deforestasi,
- Pemeriksaan visual citra satelit resolusi tinggi,
- Pemantauan lapangan langsung.
Dari hasil itu, pada 2024 deforestasi terjadi di 428 kabupaten/kota, sembilan di antaranya di Pulau Bordeo dan satu di Pulau Andalasa. Bahkan kawasan konservasi ikut terkoyak, seolah perlindungan hukum hanya hiasan di peta.
Lebih pilu lagi, 62% atau sekitar 160 ribu hektare deforestasi terjadi di habitat delapan megafauna ikonik: Orangutan Kalimantan, Orangutan Tapanuli, Badak Kalimantan, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan Sumatera, dan Badak Sumatera.
🔥 Ketika Alam Menangis, Oligarki Berpesta
“Ini baru sebagian kecil,” kata Korupsinikus pada Rubi, sahabat lama yang kini menjadi aktivis lingkungan dan antirasuah. Lalu, Rubi menjawab dengan getir,
“Tanamlah pohon setiap hari, walau hanya satu. Pelihara hutan, jangan dirambah, apalagi dibakar.”
Namun perjuangan Rubi dan kawan-kawannya seakan menabrak tembok besi kekuasaan. Di sisi lain, para oligarki hutan menebar semboyan sakti:
“Budidayakan hutan demi kemakmuran rakyat!”
Dengan jutaan pengikut yang memuja slogan itu, sang oligark yang lihai memainkan hukum pertanahan berpidato lantang di alun-alun:
“Siapa bilang negeri kita lap gelap? Yang gelap itu wajahmu, meski kau berdiri di bawah matahari siang!”
Sorak-sorai membahana, menelan suara akal sehat yang tersisa.
🌑 Epilog: Lap Gelap dan Bayang-Bayang Nurani
Korupsinikus dan Rubi terdiam, menatap kerumunan yang berjingkrak di bawah spanduk kemakmuran. Di atas langit Bordeo, asap tipis membentuk wajah-wajah rimba yang menangis — hantu-hantu hutan yang kehilangan rumahnya.
“Beginilah nasib negeri yang mencintai ilusi lebih dari kenyataan,” gumam Korupsinikus.
“Hutan dijadikan ladang emas, nurani dijadikan bahan bakar.”
Dan begitulah, tualang kali ini berakhir — di tengah hutan yang kian lap… dan gelap.
(Selesai.)
BACA JUGA: Korupsinikus dan Rasuah Minyak Rp 968,5 Triliun – Serpihan Dialog Neraka Minyak Negeri Konoha Raya

