Sen. Nov 3rd, 2025

Kerang Hijau: Solusi Akuakultur Ramah Lingkungan yang Terlupakan

Oleh: Fittrie Meyllianawaty Pratiwy, Ph.D.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

ALGIVOID — Di tengah ketidakpastian ekosistem pesisir akibat tekanan penangkapan berlebih, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim, budidaya kerang hijau (Perna viridis) menawarkan secercah harapan.

Namun, potensi ini belum banyak disentuh dalam wacana kebijakan maupun diskusi publik. Padahal, kerang hijau bukan hanya komoditas bernilai ekonomi, tetapi juga agen ekologis yang mampu menyaring air dan menstabilkan rantai makanan perairan.

Sebagai spesies bivalvia yang hidup melekat pada substrat, kerang hijau tumbuh cepat, tidak membutuhkan pakan tambahan, dan justru membersihkan perairan dengan cara menyaring fitoplankton serta partikel tersuspensi.

Ini menjadikannya salah satu kandidat ideal untuk sistem akuakultur berkelanjutan—atau dalam istilah Food and Agriculture Organization (FAO), low-trophic species aquaculture—yang memiliki jejak karbon dan jejak ekologi sangat rendah.

Budidaya kerang hijau di Indonesia umumnya menggunakan benih alami yang diperoleh selama musim pemijahan (sekitar April hingga Juli).

Benih-benih ini dikumpulkan menggunakan alat kolektor yang digantung di perairan dangkal, lalu dipindahkan ke lokasi pembesaran menggunakan berbagai metode seperti rakit, rak tancap, tali rentang, dan rak bambu.

Proses ini tidak memerlukan lahan tambak atau pakan buatan, menjadikannya alternatif hemat biaya dan mudah diimplementasikan oleh masyarakat pesisir.

Di beberapa wilayah pesisir seperti Teluk Jakarta, Serang, dan Banten, metode budidaya rakit dan tali rentang telah diterapkan secara tradisional selama puluhan tahun. Namun, skalanya masih kecil dan belum mendapat dukungan intensif dalam bentuk kebijakan tata ruang laut yang memadai atau insentif budidaya ramah lingkungan.

Salah satu kekuatan terbesar kerang hijau terletak pada peran ekologisnya. Sebagai filter feeder, satu individu dewasa Perna viridis dapat menyaring hingga 5 liter air per jam.

Dalam satu petak budidaya skala kecil, ribuan individu dapat bekerja bersama menyaring air laut dari kelebihan nutrien seperti nitrogen dan fosfat, yang biasanya menjadi pemicu eutrofikasi dan ledakan alga berbahaya (HABs).

Studi di Asia Tenggara menunjukkan bahwa bivalvia mampu mengurangi konsentrasi Chlorophyll-a hingga 40% di perairan budidaya intensif, serta menurunkan tingkat kekeruhan dan logam berat.

Ini menunjukkan bahwa selain menjadi komoditas perikanan, kerang hijau juga bisa berperan sebagai bioindicator dan bioremediator perairan pesisir. Meskipun potensinya besar, budidaya kerang hijau menghadapi beberapa tantangan mendasar.

Pertama, kualitas perairan pesisir Indonesia terus menurun akibat limbah domestik, industri, dan pertanian. Kerang sebagai penyaring alami rentan menyerap logam berat dan bakteri patogen, sehingga aspek keamanan pangan menjadi perhatian utama.

Kedua, tidak adanya sistem sertifikasi atau pengawasan mutu yang memadai menyebabkan kerang hijau dari berbagai wilayah bercampur di pasar tanpa standar yang jelas. Ini melemahkan daya saing komoditas tersebut, baik di pasar lokal maupun internasional.

Ketiga, posisi kerang hijau dalam rantai pasok pangan nasional masih termarginalkan. Tidak banyak program pemerintah atau swasta yang mendorong diversifikasi protein hewani laut melalui kerang-kerangan, padahal potensinya sangat besar untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi masyarakat berpenghasilan rendah.

Jika Indonesia ingin menjadikan akuakultur sebagai pilar ekonomi biru berkelanjutan, maka budidaya kerang hijau harus diarusutamakan. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Penataan Ruang Laut untuk Budidaya Bivalvia. Pemerintah daerah perlu menetapkan zonasi budidaya kerang hijau secara eksplisit dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), dengan mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan dan akses.

2. Penguatan Sistem Sertifikasi dan Keamanan Pangan. Penting untuk membangun sistem pemantauan kualitas air dan keamanan pangan produk kerang hijau, baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor. Pemerintah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi dan laboratorium terakreditasi untuk melakukan uji logam berat, bakteri, dan parameter lainnya secara berkala. Sertifikasi berbasis lokasi budidaya dapat menjadi insentif bagi pembudidaya untuk menjaga kualitas lingkungan.

3. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Masyarakat pesisir merupakan aktor utama dalam budidaya kerang hijau. Oleh karena itu, pelatihan teknis, penyuluhan tentang sanitasi dan pengolahan hasil, serta akses terhadap permodalan dan pasar sangat krusial. Program pemberdayaan perempuan dalam pengolahan hasil kerang, seperti kerang beku, kerang asinan, atau keripik kerang, dapat menjadi penggerak ekonomi lokal.

4. Diversifikasi Produk dan Hilirisasi. Selama ini, produk kerang hijau umumnya dijual dalam bentuk segar. Padahal, potensi hilirisasi masih sangat terbuka. Protein dan kalsium dari kerang dapat digunakan dalam produk makanan fungsional, pakan ikan, hingga suplemen kesehatan. Cangkangnya pun berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan baku kalsium karbonat untuk industri farmasi dan pertanian.

5. Kolaborasi Multi-Pihak. Keberhasilan budidaya kerang hijau sebagai bagian dari pembangunan akuakultur berkelanjutan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat. Perguruan tinggi dapat berperan sebagai pusat riset dan inovasi, sementara swasta dapat menyediakan akses pasar dan teknologi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.

 

Di tengah isu krisis iklim dan ancaman terhadap ketahanan pangan, kerang hijau muncul sebagai solusi yang tidak hanya murah dan efisien, tetapi juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Ia tidak membutuhkan lahan darat, tidak menimbulkan emisi signifikan, dan justru membersihkan perairan.

Dalam konteks ekonomi biru (blue economy), budidaya kerang hijau seharusnya tidak lagi dipandang sebagai sektor marjinal, melainkan sebagai bagian dari transformasi pangan laut yang berkelanjutan.

Tentu saja, semua ini hanya bisa terwujud jika ada keberpihakan dalam kebijakan dan investasi. Sudah saatnya pemerintah menempatkan budidaya Bivalvia, seperti kerang hijau, dalam prioritas pembangunan pesisir. Potensi ekologis dan ekonominya terlalu besar untuk diabaikan.

Dengan perencanaan ruang laut yang berpihak, riset yang terintegrasi, serta dukungan pembiayaan dan pasar, budidaya kerang hijau bisa menjadi penggerak ekonomi biru Indonesia. Kita tidak perlu menunggu hingga krisis laut semakin dalam untuk bertindak. Kerang hijau sudah ada di depan mata—tinggal bagaimana kita melihat dan mengangkat potensinya.(HS&RD/FMP)

 

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *