Esai Satire oleh Harri Safiari
ALGIVON.ID — Seturut artikel di media daring SHOnet berjudul “Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta–Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas” (20 Oktober 2025), tulisan Anthony Budiawan, jagat maya sontak ramai.
Tentu saja, Korupsinikus dan para “antek”-nya tak mungkin tinggal diam.
“Gregetan banget aku melihat, mendengar, dan mengamati dugaan kuat di proyek WHOOS ini. Jangan mentang-mentang ada orang kuat di baliknya jadi kebal hukum?! Tentu tak boleh, ya?”
ujar Korupsinikus dalam beberapa kesempatan, dengan nada getir yang menandakan kemarahan bercampur penyesalan.
Dari Batu Menuju Tobat
Diketahui, Korupsinikus kini telah insyaf, setelah ribuan tahun membatu bak Malin Kundang versi birokrat — dikutuk oleh Dewa Murni Kejujuran karena menerima amplop haram hingga yang ke-2005 kalinya.
Kini, di Negeri Konoha Raya (NKR), ia justru sering diundang menjadi narasumber kejujuran.
“Ya, seharusnya jujur itu hebat dan keren,”
katanya dalam berbagai kesempatan, seolah menebus masa lalu yang kelam dan sesak.
Uniknya, patung Korupsinikus yang membatu selama berabad-abad itu sempat disangka fosil purba Pithecanthropus Erectus hasil galian di Sangiran. Ribuan tahun lamanya ia terpajang agak meminggir tersembunyi di museum geologi, hingga suatu hari seorang murid SD bernama Rubiansyah — akrab disapa Rubi — menemukannya.
Rubi, entah karena rasa ingin tahu atau panggilan zaman, berhasil membangunkan kembali sang birokrat terkutuk, membawa Korupsinikus hidup di tengah hiruk-pikuk digital dan korupsi gaya baru: proyek-proyek raksasa yang berkilau di luar, tapi busuk di dalam.
Kebanggaan Semu Negeri Konoha Raya
Kembali ke soal WHOOS, proyek kereta cepat yang digadang-gadang sebagai kebanggaan transportasi Asia Tenggara. Kini, aroma amis dugaan praktik culas tercium di setiap relnya.
Korupsinikus yang kerap wara-wiri di sekitar Stasiun Tegalluar, menatap pemandangan megah itu dengan mata getir.
“Aku lihat WHOOS bolak-balik Bandung–Jakarta,
tapi yang bikin melongo justru nilai pengembalian kreditnya ke Negeri China — berkali-kali lipat dari yang dijanjikan dulu!”
ujarnya sambil menatap rel yang mengilap namun berbau utang yang menjerat leher rakyat.
Dalam catatan melipirnya, ia menulis:
“Bangsa ini pandai membuat bangga, tapi abai pada biaya;
gemar memamerkan kecepatan, tapi lupa memeriksa kecurangan yang maha lancung!”
Ironi Negeri yang Cepat tapi Lambat
Kini, di Negeri Konoha Raya, kecepatan dijadikan simbol kemajuan,
sementara kejujuran dianggap barang antik — seperti Korupsinikus sebelum dihidupkan kembali.
Rakyat kagum pada WHOOS yang “tercepat di Asia Tenggara”,
tapi tak satu pun tampak terburu-buru menuntaskan dugaan korupsinya.
Aparat penegak hukum malah terlihat saling tunggu, saling tuding,
dan lebih sibuk menjaga ewuh pakewuh ketimbang menegakkan hukum.
Seorang pedagang seblak di dekat stasiun berkata santai,
“Ya, belum diselidiki, kan keburu pergi cepat-cepat WHOOS WHOOS, gitu.”
Sementara itu, Korupsinikus — si mantan batu yang kini jadi cermin moral bangsa — hanya bisa berujar lirih:
“Kalau dulu aku dikutuk karena menerima amplop,
kini mungkin mereka akan dikutuk oleh generasi yang lapar keadilan
Refleksi di Rel WHOOS
Di antara gemuruh rel dan deru klakson kereta cepat,
Korupsinikus merenung — bahwa kecepatan tanpa integritas hanyalah ilusi kemajuan.
Ia menatap Rubi, bocah kecil yang dulu membangunkannya dari kutukan, lalu berkata pelan:
“Rubi, kalau nanti kamu besar, jangan jadi pejabat yang mengebut tanpa arah. Lebih baik lambat tapi jujur, daripada berkata sudah tapi belum, atau cepat tapi culas dan menyengsarakan rakyat.”
Rubi tersenyum, sementara di kejauhan, WHOOS melintas cepat —
membawa ambisi, kebanggaan, dan mungkin, dosa yang belum diusut tuntas.
(Selesai)
BACA JUGA: Idealisasi Nietzsche, Rhoma Irama, & Korupsinikus – Marak Judol di Negeri Konoha Raya

