Sen. Nov 3rd, 2025

Korupsinikus  dan ADD yang Menguap 

Cerpen Satire : Harri Safiari

ALGIVON.IDDi Desa Mundur Maju Sejahtera, setiap kali musim pencairan Alokasi Dana Desa (ADD), balai desa mendadak ramai bagai pasar malam.

Lurah tampil berdasi batik, suaranya membahana:

“Inilah bukti negara hadir! Semua dana ini untuk rakyat. Kita bangun jalan, kita bangun pos ronda, kita bangun masa depan sejahtera!”

Warga bertepuk tangan — separuh harap, separuh cemas. Sebab mereka tahu, yang biasanya dibangun bukan fasilitas, melainkan janji dan papan proyek yang cepat lapuk.

Di antara mereka, ada sosok tak kasatmata: Korupsinikus, sang pengamat setia yang mencatat segala kebusukan dengan tenang. Ia menemukan laporan jalan desa dicor 1.000 meter, padahal di lapangan hanya 350 meter. Sisanya? Jalan ghaib — hanya malaikat pencatat amal yang tahu di mana letaknya.

Saat warga protes, Lurah tersenyum bijak:

“Jangan lihat panjang jalannya, lihat maknanya. Ini jalan spiritual, bukan sekadar beton.”

Dalam laporan lain, disebutkan pembangunan pos ronda senilai Rp50 juta. Kenyataannya, hanya ada triplek berlubang yang roboh diterpa angin semilir. Dua puluh petugas ronda tumbang karena masuk angin, dan biaya pengobatan mereka ditanggung dari hasil saweran panggung dangdut.

“Konsepnya memang minimalis,” ujar Lurah sambil mengisap rokok tanpa cukai. “Ronda cukup di dalam hati. Toh desa kita aman—asal jangan tanya ke mana dananya.”

Korupsinikus terus mengendus. Ia menemukan laporan Pelatihan UMKM: Strategi Go Digital senilai Rp75 juta. Faktanya, warga hanya diajari membuat akun Facebook, lalu ngopi, makan gorengan, dan pulang.

Seorang warga nekat bertanya, “Pak, kok anggarannya besar, tapi kami cuma dapat bala-bala dan seblak?”
Jawab Lurah enteng:

“Nilai utamanya bukan pada seblaknya, tapi value spiritual di baliknya. Itu edukasi rasa syukur.”

Dua minggu kemudian, sebuah mobil baru nongkrong gagah di halaman rumah Lurah, plat nomornya cantik, velgnya berkilau.
“Wow, pembangunan desa kita maju ya, Pak?” celetuk warga setengah sinis.
Lurah tertawa:

“Ini demi citra pelayanan. Masa lurah melayani rakyat naik motor tua?”

Semua laporan tampak sempurna: tanda tangan lengkap, stempel basah, foto “jalan beton 1 km” — yang diam-diam adalah jalan desa tetangga.

“Yang penting dokumen rapi,” bisik bendahara.
“Kalau ada yang protes, gampang — bilang saja mereka anti-pembangunan.”

Maka, desa tetap miskin, jalan tetap bolong, pos ronda tetap tak ada, dan bala-bala tetap berminyak pekat mengandung kanker masa depan.

Ironisnya, di catatan Korupsinikus, kekayaan Lurah melonjak. Di negeri tanpa cermin, yang dipuja bukan kenyataan, tapi laporan yang harum tinta basah.

“Akan kubincangkan dengan Rubiansyah soal ADD yang patgulipat—dahsyat, senyap, lalu menguap,” tulis Korupsinikus datar dalam catatan melipir yang fenomenal itu.

(Selesai)

BACA JUGA: Rubiansyah dan Korupsinikus

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *